Puisi



Dalam Doaku 
(Sapardi Joko Damono, 1989, kumpulan sajak
“Hujan Bulan Juni”)

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu



bisu hati

tanpa ucap, tanpa kata
hanya rasa...
bersama irama detak jantungku
segalanya sudah cukup dimengerti...
tapi awan hanya bisa diam
ketika hujan mulai datang
siangpun rela menyingkir dikala malam menjelang
seperti tunduk, benar benar tertunduk...
seperti air sungai yang hanya bisa mengalir
mengikuti arus dan jatuh ketika di air terjun
sepintas tampak ringan,
tanpa beban...
tapi sangat menyakitkan
ketika batu besar mulai jadi pengahalang
berusaha mencari celah untuk terus bisa berjalan...
dengan sedikit oksigen ini
dan kecilnya celah udara...
tawaku masih membahana, tetap membahana...
benar-benar membahana..
hingga menyamarkan jeritan dan rintihan
yang berhasil mencabik-cabik jantungku..
bodoh...
benar benar bodoh
mengalahkan akal sehatku,
tapi inilah hati yang tiada berdaya
yang telah terbuai dengan harumnya melati



Jangan Balas!!

Melihat,
Hanya melihat
Terus melihat
Sepasang mata yang hanya ingin melihat
Tanpa balas, tanpa ucap
Cukup tahu, cukup satu detik
Hati ini tak bisa berhenti berlari,
Tak bisa berhenti berputar
Kecuali namamu,
Namamu yang menyengat jantungku..
Ijinkan sepasang mata ini memandang
Dalam dunia nyata bukan maya,
Dalam sejuknya udara dalam indahnya cinta
Ijinkan tetesan bahagia bukan luka
Berikan kesempatan
ini baru mulai, jangan dihentikan!
Aku ingin bernafas
Merasakan sejuknya udara bahagia
Tapi jangan pernah balas tatapan,
jangan pernah menoleh
hati ini belum cukup kuat untuk menerimanya
aku terlalu bukan apa-apa
terlalu tak punya apa-apa
cukup sepasang mata
tanpa balas
biarkan, tolong biarkan..
sampai hati ini tenang
tanpa gundah tanpa resah
tanpa air mata
(yang baru kukenal, baru ku tau, entah apa yang nantinya bisa mempertemukan kita kembali. mempertemukan seperti malam itu, malam pertamaku berjumpa dengannya sebagai dia. kadang aku nggak paham, kenapa perasaan bisa seperti ini, siapa dia? kenal kah? sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan untuk mewujudkan keinginanku ini. sangat aneh..)
Malang, 01 Mei 2013


Bara Hitam

Matahari berteriak
Awan berbaris menata diri
Seakan tak mau kalah
Burung pun mengalunkan melodi cintanya
Aku tahu
Kasih sayangMu bermekaran bersama mawar
Berhembus bersama angin yang membelai rambutku
Tumbuh bersama padi
Dan mengalir sepanjang sungai
Namun entah…
Ketika bulan menjadi primadona malam
Udara seakan mencekikku
Menyapu asa
Memadamkan bara api di hati ini
Gelap, lelah…
Kadang aku lelah…
Berjalan di atas kerikil
Terbang melawan angin
Tak kunjung sampai
Hingga aku merintih bersama bintang
Yang kau taburkan di langit
Air mataku tiada habis untuk memuja
Apa rencanaMu?
Dengarlah…
Tangisan makhluk kecil yang tak berdaya
Peluk hatiku, dekap jiwaku!!
Aku rindu aku rindu…





Puisiku Untukmu

Kala mataku berbicara
Hatiku tersedak pesonamu
Pena kehabisan tintanya
Dan huruf tak dapat lagi menyusun kata
Sayup-sayup kudengar khasnya suaramu
Senyummu abadi dalam kepalaku
Luluhkan kemunafikanku
Datangkan khayal sebagai rindu
Kuhirup aroma kasih
Kucari tiada henti
Dan saat mataku bertemu
Jantungku tak lagi merdu
Butanya nuraniku
Suburkan ketakutan dalam syarafku
Tundukkan kepalaku
Teteskan air mataku
Sesak dalam dada
Mulutku tak sanggup lagi bicara
Biarkan air mata ungkapkan semua
Dan mengeluarkan magmanya
Lewat puisi sederhana ini
Kuharap kau mengerti
Medan magnetmu telah sampai ke hatiku
Arusnya mengalir sepanjang pembuluh darahku
Meski cepat dan terlambat
Semua ini akan selalu kuingat
Sebagai cerita singkat sang pemimpi
Bersanding dengan sang mentari

 (kepada dia yang berkumpul di sudut sana)



Aku Ingin

(Sapardi Djoko Damono)




aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada